Menafsir Ruang Publik yang Terpagar
di jogja ada satu petak tanah di pusat kota yang tak terjamah manusia. lokasinya ada di depan gerbang keraton atau sebelah setalan titik nol jogja. secara umum orang menyebutnya alun-alun, orang jogja terbiasa menyebutnya altar, alun-alun utara.
alun-alun adalah manifestasi ruang publik khas kerajaan dan kesultanan jawa yang tetap lestari hingga kini. alun-alun tidak hanya sebagai tempat interaksi sesama rakyat tapi juga rakyat dengan rajanya. sayangnya alun-alun utara kini terpagar dan tertutup untuk publik.
saat semua negara dan kota di dunia membuka akses gratis dan bebas pada taman-taman kota, lapangan dan ruang publik lainnya, jogja justru memilih kembali ke masa lalu. dengan argumen bahwa mengembalikan alun-alun seperti zaman dulu yang dipagar justru seolah merebut ruang interaksi antar warga.
tentu kita berharap pemerintah menyediakan akses universal ke ruang terbuka hijau dan publik yang aman, inklusif dan dapat diakses, khususnya bagi perempuan dan anak-anak, orang tua dan penyandang disabilitas. jogja sudah banyak kehilangan ruang publik yang benar-benar memberi akses gratis bagi warganya.
lokasi yang harusnya menjadi ruang publik sudah banyak dicabut dari akarnya. ruang-ruang itu sudah menjadi tertutup. tertutup tidak selalu dalam konteks dikelilingi pagar seperti alun-alun utara, tapi dalam arti lebih luas menjadikannya tempat wisata.
banyaknya lokasi yang menjadi tempat wisata ini sebenarnya bagus bagi masyarakat lokal. saya senang karena banyak tempat wisata ini dikelola oleh penduduk sekitar baik secara swadaya atau melalui BUMDes, dengan seperti ini ekonomi menjadi terdistribusi dan pariwisata jogja tidak selalu terpusat pada lokasi yang sama.
namun disisi lain, pemerintah seharusnya menyediakan ruang publik yang gratis bagi semua orang, dan tidak menjadikan semua tempat berbayar, khususnya di dalam kota dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. di tengah kota jogja praktis hanya alun-alun selatan yang cukup luas dan dapat digunakan masyarakat.
penyediaan ruang hijau di kota menjadi semakin penting dan terus menjadi indikator signifikan kualitas kehidupan perkotaan. Namun, dinamika tersebut juga berjalan beriringan dengan komodifikasi ruang publik – saat ini cukup sulit menemukan ruang publik terbuka di kota-kota di mana orang dapat duduk, berinteraksi, atau bersirkulasi tanpa harus mengkonsumsi (pesana makanan) sesuatu.
Lebih buruk lagi, ruang publik baru sering dikembangkan sebagai bagian dari proyek perkotaan yang didasarkan pada beberapa kesepakatan antara aktor sektor publik dan swasta: ini cenderung meminimalkan akses publik yang lebih luas ke dan penggunaan ruang-ruang ini. hal ini sangat disayangkan karena penggunaannya yang eksklusif dan terkomodifikasi, ‘ruang publik semu’ ini, yang tampaknya publik tetapi sebenarnya dimiliki oleh perusahaan swasta, diam-diam menyebar ke seluruh kota di seluruh dunia.
Keterlibatan sektor swasta semacam ini dikhawatirkan menghasilkan ruang hijau tanpa fungsi nyata di seluruh proyek perkotaan baru. Di satu sisi, ruang publik telah menjadi bagian dari permainan negosiasi dalam bentuk pembangunan perkotaan yang didorong pasar properti, di mana ukuran, norma, dan prinsip kuantitatif baru pada harga meter persegi, preferensi konsumen, atau daya beli tampaknya menentukan kapasitas, fungsi, dan letak fungsi ruang publik. Ini adalah tanggung jawab pemerintah untuk melawan kecenderungan seperti itu.
setelah tindakan lockdowan PPKM/PSBB dilonggarkan, kedai, kafe dan restoran, pantai, tempat wisata dan taman kembali penuh sesak, baik dengan menghormati aturan jarak fisik atau tidak. Sementara pemerintah daerah sepertinya belum ada jalan keluar bagaimana menjadikan ruang publik yang aman dan nyaman. Penduduk perkotaan haus akan ruang publik terbuka, dan penting untuk memikirkan kembali norma, aturan, dan prinsip ruang publik yang gratis dan inklusif.
Ini membutuhkan intervensi pemerintah yang lebih kuat dan langkah-langkah perencanaan kota yang matang untuk mematikan bahwa hak publik dan masyarakat diutamakan. Sementara para ilmuwan masih berjuang untuk memahami tingkat dan dampak Covid-19, satu hal telah menjadi jelas: kita harus belajar untuk hidup dengannya untuk sementara, mungkin selamanya.
Ini adalah wake-up call, yang mengharuskan kita untuk memikirkan kembali makna ruang publik terbuka. Kita tidak hanya harus mendekomodifikasi proses produksi ruang publik, tetapi juga harus melengkapinya dengan makna, fungsi, dan tempat baru di kota. Ini, bagaimanapun, dikatakan lebih mudah daripada dilakukan.
harapan bahwa alun-alun utara dibuka kembali sebagai ruang publik yang gratis masih ada. saya juga memang tidak setuju dengan menjadikan alun-alun utara yang sakral sebagai parkiran bus seperti dahulu, tapi pasti ada cara menjadikan altar tidak menjadi tanah kosong terpagar. menjadikanya ruang yang lebih terbuka untuk masyarakat jogja maupun wisatawan.
daripada menjadikannya tanah kosong yang kebakaran rumput saat kemarau atau rimbun saat musim hujan seperti tak terurus. tak ada salahnya membangun konsep baru menjadikan alun-alun utara objek wisata gratis yang punya nilai nilai keunikan, sejarah, monumental dan jadi tujuan wisata sehingga hidup dan menjadi perbincangan publik dunia seperti Plaza de Mayo Argentina, Piazza san Marco Italia, Grote Markt Belgia, hingga Trafalgar Square Inggris.
Wah sudah kembali menulis nih adekkkkk ekekekeeee
Aku udah lama nih nggak nengok alun² Jogja baik yang lor ataupun kidul
daripada blog kosong mbak wkwkwkw
Barusan sore kemarin aku dan kawanku ngerasani altar Yogya, ehhh, pagi ini baca ini. Salam dari kulon altar, Mas.
semoga altar bisa jadi tempat nongkrong lagi mba