Perempuan yang di Hardik di Depan Publik
petang itu seperti biasa, saya dan istri di kedai, sudah di mushola kecil, akan sholat. lokasinya masih satu komplek dengan kedai kami. belum takbir saya ucapkan teriakan bergema, sumbernya tak jauh. dari meja di sudut, seorang pria berteriak pada seorang perempuan.
perempuan masih menunduk, wajahnya mulai sembab, kata-kata kasar banyak terucap, sangat menyakitkan. cukup lama mendengar, kami kira pertengkaran biasa, masih berlanjut bahkan saat tahiyat akhir yang ditutup salam sudah tuntas. tak lama perempuan itu pergi membawa motor, si pria masih duduk memandang jalan.
buat saya ini pemandangan tak biasa, pertengkaran bisa saja terjadi dimana saja tapi saya kira di tempat publik seperti ini sebaiknya dihindari. apalagi seorang pria yang memaki perempuan.
kejadian itu lebih sebuah penghardikan dibanding pertengakaran, emosi berjalan satu arah, pra terus nyerocos hingga terungkap kata cerai, si wanita menunduk terus dan menangis. pemandangan yang membuat saya tak nyaman.
peristiwa 15 menit ini sepertinya terasa lama bagi perempuan hingga akhirnya dia meninggalkan lokasi.
istri melirik pada saya, harus gimana? dalam kebingungan yang sama saya jawab, tunggu saja mungkin urusan rumah tangga, tapi jika ada aksi fisik kita punya alasan bereaksi.
buat saya pemandangan seperti ini sangat tidak nyaman, perempuan itu jikapun bersalah tetap tak pantas diteriaki dan dihardik di depan umum. apalagi jika yang salah adalah prianya dan hanya menjadikan wanita sebagai pelampiasan emosi.
perempuan itu yang saya tak tahu namanya mungkin hanyalah satu dari sekian banyak perempuan di dunia yang mengalami kejadian yang sama bahkan lebih mengerikan. perempuan itu yang di hardik dengan teriakan di ruang publik mungkin mengalami hal yang lebih menyedihkan dan menyakitkan di ruang private.
saya sering berfikir kemana orang-orang seperti wanita itu akan berlari, kemana akan berteduh, kemana akan meminta perlindungan jika orang yang diharapkan jadi pelindungnya justru memiliki tanda bahaya.
bagi saya harusnya pria, pasangannya, kekasihnya, suaminya adalah ruang paling aman bagi perempuan. pria bisa menjadi benteng yang kokoh sekaligus selimut yang lembut.
saya lalu melirik pada istri, “apakah mas pernah marah selama kita menikah?” dengan santai istri menjawab “kalau mas marah, nyta marahin balik!”